Selasa, 07 Juli 2015

Kemiskinan dan Ketidakberuntungan


Kemiskinan masih menjadi salah satu penyakit kronis di Negeri ini yang masih belum bisa disembuhkan. Hampir 70 Tahun Indonesia merdeka, kemiskinan masih tetap menggerogoti Bangsa ini. Berdasarkan data dari BPS, jumlah penduduk miskin baik di Desa maupun di Kota dari tahun ke tahun semakin menurun. Pada Tahun 1970, jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 70 Juta jiwa, sedangkan pada Tahun 2013 sekitar 29 Juta jiwa. dari data ini dapat kita lihat bahwa kemiskinan di Indonesia memang sudah menurun.
Dari berbagai macam teori tantang kemiskinan, permberdayaan adalah salah satu teori yang dianggap paling mutakhir untuk menyelesaikan masalah kemiskinan (Syakrani,2009). Menurut Ife (2002), pemberdayaan adalah proses peningkatan daya (power) individu atau kelompok yang tidak beruntung. Jadi, dengan pemberdayaan individu atau kelompok yang tidak beruntung bisa menjadi beruntung atau yang miskin menjadi tidak miskin.
Ada yang menarik dari pendapat Ife tersebut. Yang menarik adalah pandangan Ife mengenai kemiskinan. Sedikit mengesampingkan pemberdayaan yang diungkapkan oleh Ife, pandangan Ife tentang kemiskinan lebih menarik untuk dibahas. Ife menyebut Orang-orang miskin sebagai orang yang tidak beruntung. Ini dapat dilihat dari pengertian pemberdayaan menurutnya di atas.
Apa yang dimaksud dengan ketidakberuntungan menurut Ife di atas? Apa kaitannya dengan kemiskinan?  Disini kita akan membahas mengenai ketidakberuntungan dalam kemiskinan.
Secara sederhana, konsep ketidakberuntungan bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Kemiskinan atau pemiskinan, marjinalisasi, deprivasi, dan ketidakadilan (Syakrani dan Syahrani, 2009). Secara teoritik, setidaknya ada tiga pandangan tentang ketidakberuntungan sebagai isu sosial dalam kemiskinan, yakni pandangan individual, pandangan kelembagaan, dan pandangan struktural.

Tabel 1.1. Cara Pandang tentang Ketidakadilan
 
 


Perspektif
Persepsi Masalah
Sifat Pandangan
Solusi
Individual
Patologi individu: fisik, psikologis, moral atau karakter.
Blaming the Victim
Terapi, perlakuan medis, perubahan perilaku, control, “pencucian moral”
Institusional
Patologi lembaga
(Bureaucratic pathology)
Blaming the Rescue
Reorganisasi, penambahan sumberdaya, diklat.
Struktural
Deprivasi atau
Diskriminasi
(kelas social, gender, power, dsb)
Blaming the system
Perubahan system (nilai aturan main, mind-set kolektif)
               
Pandangan pertama, memahami ketidakberuntungan sebagai akibat dari patologi personal atau individu. Sifat-sifat atau kondisi obyektif setiap individu seperti malas, tidak terampil, tidak kreatif, kurang pengetahuan dan sumberdaya dianggap sebagai determinan ketidakberuntungan. Pandangan ini bersifat blaming the Victim, dan karena itu solusi yang ditawarkan difokuskan pada pembenahan patologi atau kekurangan secara individual, meskipun dalam pelaksanaannya didekati secara kolektif. Bayak program sosial dirancang dengan basis teoritik blaming the victim, seperti program kompensasi BLT, bantuan modal, dan pelatihan-pelatihan keterampilan.
                Pandangan kedua, memfokuskan pandangannya pada kinerja lembaga penanggungjawab masalah sosial. Ketidakberuntungan yang dialamai penduduk dalam pendangan ini dipahami sebagai akibat sampingan ketidakmampuan lembaga tersebut menunaikan tanggungjawabnya. Pandangan ini bersifat blaming the rescuer, karena itu jalan keluar yang ditawarkan bersifat kelembagaan, seperti pengembagan kapasitas, pengembangan organisasi, penambahan sumberdaya, pendidikan dan pelatihan manajemen pembangunan sosial. Dalam beberapa kasus program sosial, juga dikaitkan dengan pembenahan kelembagaan. Tapi masalahnya adalah program yang digelar, seperti diklat dan perampingan borokrasi tidak dirancang dengan benar, sehingga pembenahan secara kelembagaan ini seolah-olah berjalan sendiri-sendiri dan kehilangan pautannya dengan inti masalah.
                Pandangan ketiga, menganggap ketidakberuntungan disebabkan oleh system dan norma sosial yang berlaku, yang dinilai diskriminatif. Munculnya konsep kemiskinan struktural (deprivation atau improverishment) bisa dipahami oleh konteks pandangan ini. Secara empirik, jarang sekali program pembangunan sosial dirujukkan pada prespektif teoritik ini. Akibatnya, potensi banyak program pembangunan sosial untuk memberdayakan penduduk terhalangi oleh kurang pekanya penentu kebijakan dan perancang program terhadap kendala struktural.
                Dari ketiga pandangan tentang ketidakberuntungan di atas, secara sederhana dapat kita pahami mengenai konsep ketidakberuntungan. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, ketidakberuntungan diartikan sebagai sebab munculnya kemiskinan. Orang miskin ada karena mereka tidak beruntung dalam menjani kehidupannya.
Kritik terhadap Ketiga pandangan Ketidakberuntungan
                Awalnya, jika kita menganggap sebuah kemiskinan muncul karena ketidakberuntungan adalah sebuah pandangan yang agas sempit. Hal ini karena kita memaknai ketidakberuntungan sebagai sebuah kondisi dimana manusia secara tidak sengaja berada dalam kondisi yanglebih buruk dibandingkan yang lain. Artinya adalah ketidakberuntungan yang dimaksud di awal adalah ketidaksengajaan terjebak dalam sebuah kondisi yang buruk. Pandangan awal ini tentu akan sangan menyesatkan jika dijadikan sebagai landasan dalam membedah persoalan kemiskinan.
                Akan tetapi setelah mengetahui ketiga pandangan tentaang ketidakberuntungan, tentu kita sudah sedikit maju dalam mengetahui ketidakberuntungan apa yang dimaksud dalam konteks kemiskinan. Pandangan pertama dari ketidakberuntungan bisa dikatakan seperti pandangan awal kita tentang ketidakberuntungan, dimana manusia tidak beruntung karena kondisi individualnya, entah itu fisik, mental, atau  sumber daya yang mereka miliki. Pandangan ini seakan-akan menyalahkan si tidak beruntung karena kondisinya yang demikian. Akan tetapi pendangan iniseakan-akan menghiraukan pertanyaan mengenai mengapa kondisi fisiknya seperti itu? Mengapa psikologisnya seperti itu? Dan mengapa dia tidak memiliki sumber daya? Pandangan ini akan kesulitan untuk mengaitkan pandangannya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga yang terjadi adalah rasa pesimisme dari si tidak beruntung. Si tidak beruntung akan menganggap bahwa ketidak beruntungannya adalah Takdir yang harus diterima. Dan si tidak beruntung akan terus terjebak akan kondisinya yang serba kurang dengan menyalahkan Takdir tersebut. Pandangan ini juga mengabaikan bahwa kondisii individu seseorang dibentuk oleh lingkugan, terutama kondisi psikologis dan akses terhadap sumber dayanya. Jadi, solusi yang ditawarkan dengan membenahi secara individu akan menjadi sia-sia jika lingkungannya masih membuat kondisi si tidak beruntung tetap berada dalam kondisi ketidakberuntungannya.
                Memang yang bertanggung jawab untuk mengetas kemiskinan yang dialami oleh masyarakat adalah Pemerintah. Begitu pula dengan pandangan kedua yang menganggap bahwa ketidakberuntugan terjadi akibat kegagalan lembaga Pemerintah dalam membuat individu-individu Masyarakat menjadi beruntung. Sehingga solusi yang ditawarkan hanya seputar pembenahan lembaga Pemerintahan. Solusi yang seperti ini akan menjadi tidak berguna ketika Pemerintah yang sudah dibenahi masih juga memiliki sifat yang semaunya sendiri dan masih terjebak pada anggapan seperti pandangan pertama. Pandangan seperti ini juga akan membuat keberuntungan yang dialami si tidak beruntung bersifat sementara. Hal iin karena Pemerintah selaku penyelamat. Bukan si tidak beruntung untuk membuat yang tidak beruntung menjadi beruntung.
                Pada pandangan ketiga bisa dikatakan pandangan yang paling dipinggirkan ketika melakukan kajian tentang kemiskinan. Pandangan ketiga yang “menyalahkan” sistem ketika terjadi ketidakberuntungan dipinggirkan karena pandangan ini dianggap terlalu radikal. Hal ini dikarenakan mayoritas masih menganggap bahwa individu adalah pusat dari kehidupan. Artinya adalah individulah yang mempengaruhi lingkungan, bukan sebaliknya. Pandangan terhadap kedudukan individu terhadap lingkungannya yang seperti inilah yang mengakibatkan pandangan ketiga ini disingkirkan. Pandangan ketiga yang “menyalahkan” sistem, meletakkan individu sebagai bagian dari lingkungan yang saling berinteraksi. Bukan individu yang membentuk lingkungan, tetapi sebaliknya. Individu-individu akan dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya hidup. Jadi, beruntung atau tidak beruntungnya seserorang tergantung dari lingkungan pembentuknya. Jika lingkungannya sangat kapitalistik dan liberal, maka individu yang memiliki sumber daya lemah dan sedikit akan tidak beruntung. Berbeda jika lingkungannya “sama rasa, sama rasa” atau lingkungan yang sosialis, maka individu dengan sumber daya lemah dan sedikitpun masih bisa beruntung. Kondisi sistem sosial yang demikianlah yang dimaksud oleh pandangan ketiga sehingga  muncul istilah kemiskina struktural atau kemiskinan yang diciptakan oleh struktur sosial yang ada. Begitulah sedikit wawasan tentang ketidakberuntungan dalam konteks kemiskinan. Semoga bermanfaat….

MERDEKA !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar