Akhir-akhir
ini Media di Indonesia disibukkan dengan berita-berita kriminal. Mulai dari
kasus pembunuhan Angeline, pembunuhan Pria di tong sampah, hingga kasus
perampokan berdarah yang terjadi di Jakarta. Paska reformasi Tahun 1998, banyak
sekali media massa yang muncul di Indonesia. Kebebasan pers yang merupakan
salah satu agenda reformasi selain pemilihan Presiden secara langsung oleh
Rakyat dan pemberantasan KKN, berdampak besar bagi dunia pers Indonesia.
Mungkin saat ini sudah ada ratusan lembaga pers resmi yang berbentuk media
cetak, elektronik, maupun online. Dilindungi oleh undang-undang No 40 Tahun
1999, insan pers menemukan sebuah oase dari padang pasir Orde Baru yang dengan
terang-terangan merenggut kemerdekaan mereka.
Banyaknya media yang muncul tentu berdampak pula pada kehidupan
Masyarakat. Dari sekian banyak dampak yang dibawa oleh kebebasan pers, mungkin
dampak yang paling besar adalah pembentukan opini. Tidak bisa kita pungkiri
bahwa media massa sangat berdampak besar bagi pembentukan opini kita. Untuk
mencari informasi atau ingin memperoleh informasi baru, tentu yang kita lakukan
adalah dengan melihat media. Begitu pula untuk mengupdate informasi apa yang
terbaru, kita sangat menggantungkan diri pada media. Bukan hanya untuk mencari
informasi, untuk menentukan cara berpakaian, hobi, bahkan gaya bahasa kita
menggantungkan diri kepada media. Bukan hanya opini, mungkin karakter, watak
atau cara pandang kita terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh media. Jadi,
bisa dikatakan masyarakat Indonesia lebih menyukai alogaritma mesin untuk
memilih apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk diperhatikan. Artinya
adalah, mana yang paling sering dimuat di media akan menjadi penting bagi
masyarakat ketimbang sesuatu yang memang benar-benar penting untuk diperhatikan
tetapi tidak atau jarang dimuat di media.
Fenomena batu akik menjadi salah satu kehebatan media dalam mempengaruhi
opini masyarakat. Lewat pemberitaan di berbagai media, batu akik saat ini
menjadi primadona bagi masyarakat. Dimana-mana orang membicarakan batu akik,
dan jika ada seorang pria yang tidak mengenakan batu akik dianggap kurang
“laki”. Sebenarnya batu akik sudah ada dan menjadi konsumsi bagi masyarakat,
terutama masyarakat Desa. Orang-orang tua sudah mengenal akik jauh sebelum
menjadi primadona seperti saat ini. Akan tetapi dengan hegemoninya yang luar
biasa, media mampu menyulap batu akik yang semula dianggap “klenik” menjadi
sebuah perhiasan yang wajib dimiliki. Dengan sedikit mengabaikan motif apa
dibalik boomingnya batu akik, ini
adalah bukti kehebatan media dan memiliki dampak positif yang hebat, terutama
untuk sektor ekonomi masyarakat. Melejitnya batu akik membuat beberapa orang
yang semula menganggur sekarang menjadi pengrajin batu akik. Hal-hal semacam
inilah yang diharapkan akan kehadiran lembaga pers, yaitu mampu memperbaiki kualitas
hidup masyarakat.
Akan tetapi hal positif semacam ini jarang ditemui dalam kehadiran pers
dewasa ini. Banyak hal negatif yang dihasilkan oleh lembaga pers. Kebebasan pers
yang ada saat ini malah cenderung kearah liberalisme. Tidak adanya filter yang
digunakan oleh lembaga pers terutama media elektronik membuat pers Indonesia
kehilangan jati dirinya. Kebebabasan pers yang sangat diharapkan ada ketika era
orde baru adalah untuk mengabarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia kondisi
Indonesia yang sebenarnya, seakan kehilangan arah. Kebebasan pers yang
diharapkan adalah sebuah kondisi dimana setiap Orang berhak untuk menikamati
informasi dan mengabarkan informasi yang memang benar adanya, bukan dibatasi
hanya untuk kepentingan penguasa saja. Lembaga pers seharusnya menjadi sebuah
media bagi pencerdasan dan pendidikan secara massal. Hal ini karena lembaga
pers terutama media elektronik bisa dinikmati secara massal.
Akan tetapi kondisi yang ada hari ini sangat berbeda. Lembaga pers tidak
berbeda dari kondisi pers di zaman orede baru. Media massa yang notabene
diharapkan menjadi media pendidikan massal disulap menjadi sebuah komoditi yang
digunakan untuk mendapat keuntungan semata. Program-program televisi hanya
ditujukan untuk mendapatkan profit. Berita-berita yang dikabarkan hanya yang dianggap
“penting” oleh pemiliki media, bukan mengabarkan sebuah berita yang memang
penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Kompetisi antara TvOne dan MetroTv dalam Pemilu 2014 kemarin menjadi bukti
bahwa media sudah alih fungsi dari media pembelajaran dan pembebasan bagi
masyarakat menjadi mesin politik bagi kepentingan sekelompok orang. Belum lagi
bagaimana media mengalihkan isu-isu publik yang ada. Kesibukan media membahas
UU Pemda membuat masyarakat tidak tahu mengenai perpanjangan kontrak Freeport. Begitu
pula ketika pemberitaan kecelakaan Air Asia yang begitu luar biasa hingga
membuat masyarakat tidak begitu peduli terhadap kenaikan harga BBM. Padahal persoalan-persoalan
yang tidak diangkat oleh media tersebut lebih penting dan bersifat masif bagi
kehidupan masyarakat.
Belum lagi bagaimana Televisi yang secara langsung atau tidak langsung
menggerus kepribadian Bangsa ini dengan berbagai macam programnya. Program-program
yang bersifat hedon begitu banyak ditayangkan, sementara program-program
pendidikan sangat sedikit sekali. Televisi lebih suka menayangkan program yang
mengajak masyarakat “berjoget” dan saling ejek atas dasar hiburan daripada
menayangkan program yang membuat masyarakat lebih cerdas dan lebih “berjiwa”
Indonesia. Hal ini sungguh ironis jika melihat hasil perjuangan yang dilakukan
oleh pejuang-pejuang media dulu hanya diisi untuk sekedar memburu rating dan
akhirnya mendapat profit semata.
Budaya Indonesia juga lama-kelamaan akan punah jika media massa terus-terusan mengangkat
budaya Bangsa lain tanpa adanya filter. Lihat bagaimana budaya k-pop yang
beberapa waktu lau mempengaruhi masyarakat Indonesia terutama anak muda yang
notabene pewaris tongkat estafet kepemimpinan Bangsa ini. Bagaimana setiap hari
anak-anak SD menyanyikan lagu bergenre korea sementara mereka tidak tahu lagu “gundul-gundul
pacul”. Lihatlah anak usia remaja yang lebih suka memakai baju ketat dan celana
pendek. Dari mana mereka tahu itu semua? Tentu mereka mendapatkan infromasi
dari media. Hal ini sungguh ironis ketika jargon dari Pemerintah yang katanya
kembali kepada tri sakti Bung Karno.
Memang kita tidak bisa menyalahkan semuanya kepada lembaga-lembaga pers. Akan
tetapi mereka yang sangat berpengaruh besar seperti yang saya katakan di awal
harus mulai sadar dan kembali ke jalurnya. Lembaga pers harus kembai menjadi
sebuah lembaga pendidikan dan pembebasan bagi masyarakat. Pers memang boleh
berpihak, tapi berpihaklah pada pembebasan bukan kepada pembebasan. Apa bedanya
lembaga pers saat ini dengan lembaga pers Orde Baru jika masih berpihak kepada
kepentingan kelompok-kelompok elit oligarki. Pers harus berpihak kepada Rakyat
dan selalu menjadi ujung tombak bagi jalannya demokratisasi di Negeri ini.
Semoga bermanfaat….
MERDEKA!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar