Minggu, 05 Juli 2015

Lembaga Pers Riwayatnya Kini...........

Akhir-akhir ini Media di Indonesia disibukkan dengan berita-berita kriminal. Mulai dari kasus pembunuhan Angeline, pembunuhan Pria di tong sampah, hingga kasus perampokan berdarah yang terjadi di Jakarta. Paska reformasi Tahun 1998, banyak sekali media massa yang muncul di Indonesia. Kebebasan pers yang merupakan salah satu agenda reformasi selain pemilihan Presiden secara langsung oleh Rakyat dan pemberantasan KKN, berdampak besar bagi dunia pers Indonesia. Mungkin saat ini sudah ada ratusan lembaga pers resmi yang berbentuk media cetak, elektronik, maupun online. Dilindungi oleh undang-undang No 40 Tahun 1999, insan pers menemukan sebuah oase dari padang pasir Orde Baru yang dengan terang-terangan merenggut kemerdekaan mereka.

Banyaknya media yang muncul tentu berdampak pula pada kehidupan Masyarakat. Dari sekian banyak dampak yang dibawa oleh kebebasan pers, mungkin dampak yang paling besar adalah pembentukan opini. Tidak bisa kita pungkiri bahwa media massa sangat berdampak besar bagi pembentukan opini kita. Untuk mencari informasi atau ingin memperoleh informasi baru, tentu yang kita lakukan adalah dengan melihat media. Begitu pula untuk mengupdate informasi apa yang terbaru, kita sangat menggantungkan diri pada media. Bukan hanya untuk mencari informasi, untuk menentukan cara berpakaian, hobi, bahkan gaya bahasa kita menggantungkan diri kepada media. Bukan hanya opini, mungkin karakter, watak atau cara pandang kita terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh media. Jadi, bisa dikatakan masyarakat Indonesia lebih menyukai alogaritma mesin untuk memilih apa yang penting dan apa yang tidak penting untuk diperhatikan. Artinya adalah, mana yang paling sering dimuat di media akan menjadi penting bagi masyarakat ketimbang sesuatu yang memang benar-benar penting untuk diperhatikan tetapi tidak atau jarang dimuat di media.
Fenomena batu akik menjadi salah satu kehebatan media dalam mempengaruhi opini masyarakat. Lewat pemberitaan di berbagai media, batu akik saat ini menjadi primadona bagi masyarakat. Dimana-mana orang membicarakan batu akik, dan jika ada seorang pria yang tidak mengenakan batu akik dianggap kurang “laki”. Sebenarnya batu akik sudah ada dan menjadi konsumsi bagi masyarakat, terutama masyarakat Desa. Orang-orang tua sudah mengenal akik jauh sebelum menjadi primadona seperti saat ini. Akan tetapi dengan hegemoninya yang luar biasa, media mampu menyulap batu akik yang semula dianggap “klenik” menjadi sebuah perhiasan yang wajib dimiliki. Dengan sedikit mengabaikan motif apa dibalik boomingnya batu akik, ini adalah bukti kehebatan media dan memiliki dampak positif yang hebat, terutama untuk sektor ekonomi masyarakat. Melejitnya batu akik membuat beberapa orang yang semula menganggur sekarang menjadi pengrajin batu akik. Hal-hal semacam inilah yang diharapkan akan kehadiran lembaga pers, yaitu mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Akan tetapi hal positif semacam ini jarang ditemui dalam kehadiran pers dewasa ini. Banyak hal negatif yang dihasilkan oleh lembaga pers. Kebebasan pers yang ada saat ini malah cenderung kearah liberalisme. Tidak adanya filter yang digunakan oleh lembaga pers terutama media elektronik membuat pers Indonesia kehilangan jati dirinya. Kebebabasan pers yang sangat diharapkan ada ketika era orde baru adalah untuk mengabarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia kondisi Indonesia yang sebenarnya, seakan kehilangan arah. Kebebasan pers yang diharapkan adalah sebuah kondisi dimana setiap Orang berhak untuk menikamati informasi dan mengabarkan informasi yang memang benar adanya, bukan dibatasi hanya untuk kepentingan penguasa saja. Lembaga pers seharusnya menjadi sebuah media bagi pencerdasan dan pendidikan secara massal. Hal ini karena lembaga pers terutama media elektronik bisa dinikmati secara massal.
Akan tetapi kondisi yang ada hari ini sangat berbeda. Lembaga pers tidak berbeda dari kondisi pers di zaman orede baru. Media massa yang notabene diharapkan menjadi media pendidikan massal disulap menjadi sebuah komoditi yang digunakan untuk mendapat keuntungan  semata. Program-program televisi hanya ditujukan untuk mendapatkan profit. Berita-berita yang dikabarkan hanya yang dianggap “penting” oleh pemiliki media, bukan mengabarkan sebuah berita yang memang penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Kompetisi antara TvOne dan MetroTv dalam Pemilu 2014 kemarin menjadi bukti bahwa media sudah alih fungsi dari media pembelajaran dan pembebasan bagi masyarakat menjadi mesin politik bagi kepentingan sekelompok orang. Belum lagi bagaimana media mengalihkan isu-isu publik yang ada. Kesibukan media membahas UU Pemda membuat masyarakat tidak tahu mengenai perpanjangan kontrak Freeport. Begitu pula ketika pemberitaan kecelakaan Air Asia yang begitu luar biasa hingga membuat masyarakat tidak begitu peduli terhadap kenaikan harga BBM. Padahal persoalan-persoalan yang tidak diangkat oleh media tersebut lebih penting dan bersifat masif bagi kehidupan masyarakat.
Belum lagi bagaimana Televisi yang secara langsung atau tidak langsung menggerus kepribadian Bangsa ini dengan berbagai macam programnya. Program-program yang bersifat hedon begitu banyak ditayangkan, sementara program-program pendidikan sangat sedikit sekali. Televisi lebih suka menayangkan program yang mengajak masyarakat “berjoget” dan saling ejek atas dasar hiburan daripada menayangkan program yang membuat masyarakat lebih cerdas dan lebih “berjiwa” Indonesia. Hal ini sungguh ironis jika melihat hasil perjuangan yang dilakukan oleh pejuang-pejuang media dulu hanya diisi untuk sekedar memburu rating dan akhirnya mendapat profit semata.
Budaya Indonesia juga lama-kelamaan akan punah  jika media massa terus-terusan mengangkat budaya Bangsa lain tanpa adanya filter. Lihat bagaimana budaya k-pop yang beberapa waktu lau mempengaruhi masyarakat Indonesia terutama anak muda yang notabene pewaris tongkat estafet kepemimpinan Bangsa ini. Bagaimana setiap hari anak-anak SD menyanyikan lagu bergenre korea sementara mereka tidak tahu lagu “gundul-gundul pacul”. Lihatlah anak usia remaja yang lebih suka memakai baju ketat dan celana pendek. Dari mana mereka tahu itu semua? Tentu mereka mendapatkan infromasi dari media. Hal ini sungguh ironis ketika jargon dari Pemerintah yang katanya kembali kepada tri sakti Bung Karno.
Memang kita tidak bisa menyalahkan semuanya kepada lembaga-lembaga pers. Akan tetapi mereka yang sangat berpengaruh besar seperti yang saya katakan di awal harus mulai sadar dan kembali ke jalurnya. Lembaga pers harus kembai menjadi sebuah lembaga pendidikan dan pembebasan bagi masyarakat. Pers memang boleh berpihak, tapi berpihaklah pada pembebasan bukan kepada pembebasan. Apa bedanya lembaga pers saat ini dengan lembaga pers Orde Baru jika masih berpihak kepada kepentingan kelompok-kelompok elit oligarki. Pers harus berpihak kepada Rakyat dan selalu menjadi ujung tombak bagi jalannya demokratisasi di Negeri ini.
Semoga bermanfaat….

MERDEKA!!!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar