Senin, 18 Februari 2013

Serikat Buruh sebagai Pembawa Panji-Panji Perjuangan Marhaen Melawan Kapitalisme dan Imperialisme



 Telah kita ketahui bersama bahwa dalam kaum marhaen, buruh merupakan salah satunya. Dalam tulisan ini saya akan menulis tentang mengapa buruh harus berserikat? Mengapa buruh begitu penting peranannya dalam perjungan melawan kapitalisme dan imperialisme? Dan pandangan kita yang seharusnya terhadap kaum buruh?
                Pertama, saya akan menjawab pertanyaan mengapa buruh harus berserikat? Dalam kehidupan di negara manapun baik itu negara yang berkembang maupun yang sudah maju, jumlah dari kaum buruh tidaklah sedikit. Mereka hampir mendominasi masyarakat kelas menengah kebawah. Tidak terkecuali di Indonesia kita tercinta ini. Jumlah kaum buruh mungkin mencapai 50% dari jumlah penduduk negara kita. Dengan jumlah sebesar itu, alangkah baiknya jika mereka berkumpul dan bersatu dalam satu wadah, dalam satu barisan, dalam satu serikat, yaitu serikat buruh. Dari penjelasan tersebut, akan muncul lagi pertanyaan untuk apa mereka berserikat? Ya tentu saja untuk meperjuangkan hak-hak mereka yang kian hari kian terampas dan terjerat karena kian maraknya kapitalisme di Bumi Pertiwi. Jika mereka memperjuangkan hak-hak mereka sendiri-sendiri kan sangat tidak efisien. Tapi ketika kaum buruh ini bersatu dalam satu bendera, dalam satu barisan, dalam satu rasa, dalam satu tujuan, dalam satu serikat, yaitu serikat buruh Indonesia alangkah bergetarnya hati para kapitalis, alangkah takutnya mereka menghadapi gelombang ini.
               
Pertanyaan kedua adalah mengapa buruh begitu penting perannya dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme? Mungkin pertanyaan ini sedikit terjawab dari jawaban pertanyaan pertama. Memang pentingnya kaum buruh dalam perjuangan melawan kapitalisme adalah karena jumlah mereka yang banyak. Selain itu ada lagi alasan terpenting yaitu keterkaitan langsung antara buruh dengan kepitalisme itu sendiri. Kaum buruh lahir karena adanya kepitalisme, dan kepitalisme ada karena hadirnya kaum buruh. Jadi, dibandingkan dengan kaum-kaum marhaen yang lain, kuam buruh lebih merasakan dampak langsung dari kapitalisme itu sendiri. Tapi Bung Karno pernah mempertanyakan di sebuah artikelnya yang ditulis di fikiran Ra’jat, 1933 dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi, jilid I, cetakan tahun 2005” pernyataan bahwa buruh yang lebih merasakan dampak kapitalisme hanya terjadi di Eropa. Sedangkan kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme pertanian. Jadi yang merasakan langsung adalah para petani. Lantas apakah buruh masih menjadi pemegang peran penting dalam perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme?
                Di akhir tulisan ini, Bung Karno juga memberikan jawaban atas pertanyaan tadi. Penjelasan beliau adalah sebagai berikut: “Ya, ... banar kapitalisme di sini adalah 75% industrial kapitalisme pertanian, benar mati-hidupnya kapitalisme di sini itu buat sebagian besar adadi dalam genggamannya kaum kaum tani, tetapi hal ini tidak merobah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamsil sepak terjangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toch ada satu barisan daripadanya yang ditaruh di muka, berjalan di muka, berkelahi mati-matian di muka-mempengaruhi dan menyalakan kenekatan dan keneraniannya seluruh tentara itu: berisan ini adlah berisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adlah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.
                Dari tulisan tersebut, kita bisa simpulkan bahwa yang berjuang adalah kaum petani, tetapi yang menjadi pelopor adalah tetap kaum buruh. Karena kaum buruh lebih modern daripada petani. Buruh hidup di industri yang modern, di tempat yang modern, dan pemikiran yang modern. Sedangkan petani hidup di industri yang kuno, di tempat yang kuno, dan pemikirannya juga masih kuno. Hal inilah yang melatarbelakangi Bung Karno menulis tulisan di atas.
                Pertanyaan ketiga pandangan kita yang seharusnya terhadap kaum buruh? Sebenarnya pertanyaan ini hanya untuk meyakinkan kepada semua orang bagaimana kita seharusnya memandang buruh, bagaimana kita seharusnya kita memperlakukan kaum buruh ini. Selama ini mungkin kebanyakan dari kita menganggap kaum buruh adalah kaum yang rendah, kaum terhina, dan kaum yang harus kita hapuskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercapai tatanan masyarakat yang merdeka. Orang yang menganggap buruh seperti itu adalah orang-orang yang bodoh, orang-orang yang kolot, orang-orang yang kuno, orang-orang yang hanya hidup di awang-awang dan tidak memahami kenyataan yang ada.
                Kita harus sadar bahwa buruh itu sudah menjadi “wet-wetnya” masyarakat, kata Bung Karno. Bahwa buruh tidak bisa dihilangkan dari tatanan masyarakat. Sebagai seorang nasionalis yang menginginkan masyarakat yang adil dan sejahtera tanpa kapitalis dan imperialis, apa lagi kita telah mengerti betapa pentingnya kaum buruh, hal yang seharusnya kita lakukan adalah menggunakan aset yang sangat berharga ini sebagai basis perjuangan, sebagai massa aksi radikal revolusioner untuk mewujudkan cita-cita kita bersama, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdikari dalam bidangt ekonomi, berdaulat dalam bidang politik, dan berkepribadian budaya sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga bermanfaat.
MERDEKA !!!!
Sumber: Soekarno. “Di Bawah Bendera Revolusi”, jilid I. 2005. Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar