Kali
ini saya akan mencoba kembali membahas mengenai mahasiswa dan segudang
dinamisasinya. Seperti halnya tulisan saya sebelumnya, bahwa mahasiswa bukan
hanya sekedar pelajar yang hanya belajar saja, akan tetapi mahasiswa juga
mempunyai fungsi dan tugas yang berbagai macam. Pada tulisan sebelumnya saya
sudah mengulas mengenai fungsi mahasiswa sebagai pembawa perubahan atau agent of change. Pada tulisan ini, sesuai judul saya akan
mencoba untuk mengulas mengenai fungsi mahasiswa sebagai social control.
Bukan
hal yang aneh jika banyak mahasiswa turun aksi kejalanan untuk menyuarakan
aspirasinya. Bukan hal yang aneh jika banyak mahasiswa melakukan aksi bagi-bagi
bunga atau hanya sekedar diam dengan membawa beberapa poster dengan tulisan
dipinggir jalan atau lampu lalu lintas. Bukan hal yang aneh pula jika ada
mahasiswa melakukan teatrikal pada momentum-momentum tertentu seperti
peringatan hari-hari besar. Itu semua
dilakukan oleh mahasiswa hanya dengan satu tujuan,yaitu melakukan “protes”
terhadap kondisi yang ada di masyarakat hari ini.
Jika
kita melihat dengan seksama aksi yang mereka lakukan, maka kita dapat mengerti
bahwa itu semua adalah bentuk ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang ada,
ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi saat ini. Walaupun mereka mengemasnya
dengan berbagai macam bentuk, tapi pada dasarnya tujuan mereka sama, yaitu
untuk melakukan “protes”.
Protes
inilah merupakan bentuk dari fungsi mahasiswa sebagai social control. Social control yang berarti mahasiswa sebagai
pengontrol kondisi masyarakat yang ada, sebenarnya bisa diwujudkan dengan
berbagai macam bentuk, akan tetapi semua akan diawali dengan protes. Yang menjadi
pertanyaan saat ini adalah apakah mahasiswa hanya bisa melakukan protes saja? Bukankah
itu tidak lebih dari “tong kosong nyaring bunyinya”? memang hal inilah yang
banyak menjadi perdebatan saat ini, bahwa mahasiswa dipandang hanya bisa protes
saja dan tidak bisa memberikan solusi. Bahwa mahasiswa hanya ngomong terus
tanpa ada praktiknya. Bahwa mahasiswa tidak bisa melakukan apa-apa selain
beretorika. Apa benar demikian?
Pertanyaan-pertanyaan
itu pernah saya lontarkan kepada salahh satu aktivis mahasiswa di kampus. Dan jawaban
dari beliau sangatlah simpel, yaitu “protes
adalah bentuk materil fungsi kontrol mahasiswa, ya wajar saja jika itu kita
lakukan. Kalau kita dikatakan hanya bisa protes saja, ya tidak semua benar,
tapi yang perlu digaris bawahi adalah protes adalah awal dari fungsi kontrol
kita. Jika protes adalah awal, tentu saja ada lanjutannya. Solusi yang mereka
inginkan adalah langkah lanjutan kita setelah bentuk protes tadi, ya solusi
yang akan kita bicarakan bersama. Yang aneh kan kita protes saja sudah dilarang,
gimana cari solusinya??”
Setelah saya
pikir sejenak, memang benar bahwa protes merupakan langkah awal mahasiswa dalam
menyikapi suatu keadaan. Setelah itu baru solusi dicari bersama-sama bukan
membebankan kepada yang protes saja karena ini adalah masalah kita bersama. Bukankah
mahasiswa merupakan barisan pelopor atau kelompok yang mangawali setiap
perubahan seperti yang diutarakan Bung Karno? Jika demikia adanya, saya rasa kita
tidak perlu negative thinking ketika
ada mahasiswa melakukan aksi sebagai upaya protesnya, akan tetapi kita harus
memaknai apa yang mereka lakukan dengan positif, yaitu bertanya kembali apa
yang mereka lakukan? Untuk apa mereka melakukan itu? Dan mengapa kita melakukan
itu? Sehingga setelah kita bertanya demikian, maka kita tidak hanya menjadi
pemerhati saja apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa tersebut, tetapi kita
juga bisa ikut ambil bagian dalam aksi protes yang mereka lakukan dan mencari
solusi bersama khusunya bagi mahasiswa-mahasiswa yang belum pernah menjalankan
fungsi kontrolnya.
Semoga bermanfaat...
MERDEKA !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar