Minggu, 12 Januari 2014

“Protes” Sebagai Bentuk Kontrol Mahasiswa


                Kali ini saya akan mencoba kembali membahas mengenai mahasiswa dan segudang dinamisasinya. Seperti halnya tulisan saya sebelumnya, bahwa mahasiswa bukan hanya sekedar pelajar yang hanya belajar saja, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai fungsi dan tugas yang berbagai macam. Pada tulisan sebelumnya saya sudah mengulas mengenai fungsi mahasiswa sebagai pembawa perubahan atau agent of change.  Pada tulisan ini, sesuai judul saya akan mencoba untuk mengulas mengenai fungsi mahasiswa sebagai social control.
                Bukan hal yang aneh jika banyak mahasiswa turun aksi kejalanan untuk menyuarakan aspirasinya. Bukan hal yang aneh jika banyak mahasiswa melakukan aksi bagi-bagi bunga atau hanya sekedar diam dengan membawa beberapa poster dengan tulisan dipinggir jalan atau lampu lalu lintas. Bukan hal yang aneh pula jika ada mahasiswa melakukan teatrikal pada momentum-momentum tertentu seperti peringatan hari-hari besar.  Itu semua dilakukan oleh mahasiswa hanya dengan satu tujuan,yaitu melakukan “protes” terhadap kondisi yang ada di masyarakat hari ini.

                Jika kita melihat dengan seksama aksi yang mereka lakukan, maka kita dapat mengerti bahwa itu semua adalah bentuk ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang ada, ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi saat ini. Walaupun mereka mengemasnya dengan berbagai macam bentuk, tapi pada dasarnya tujuan mereka sama, yaitu untuk melakukan “protes”.
                Protes inilah merupakan bentuk dari fungsi mahasiswa sebagai social control. Social control yang berarti mahasiswa sebagai pengontrol kondisi masyarakat yang ada, sebenarnya bisa diwujudkan dengan berbagai macam bentuk, akan tetapi semua akan diawali dengan protes. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah mahasiswa hanya bisa melakukan protes saja? Bukankah itu tidak lebih dari “tong kosong nyaring bunyinya”? memang hal inilah yang banyak menjadi perdebatan saat ini, bahwa mahasiswa dipandang hanya bisa protes saja dan tidak bisa memberikan solusi. Bahwa mahasiswa hanya ngomong terus tanpa ada praktiknya. Bahwa mahasiswa tidak bisa melakukan apa-apa selain beretorika. Apa benar demikian?
                Pertanyaan-pertanyaan itu pernah saya lontarkan kepada salahh satu aktivis mahasiswa di kampus. Dan jawaban dari beliau sangatlah simpel, yaitu “protes adalah bentuk materil fungsi kontrol mahasiswa, ya wajar saja jika itu kita lakukan. Kalau kita dikatakan hanya bisa protes saja, ya tidak semua benar, tapi yang perlu digaris bawahi adalah protes adalah awal dari fungsi kontrol kita. Jika protes adalah awal, tentu saja ada lanjutannya. Solusi yang mereka inginkan adalah langkah lanjutan kita setelah bentuk protes tadi, ya solusi yang akan kita bicarakan bersama. Yang aneh kan kita protes saja sudah dilarang, gimana cari solusinya??”
                Setelah saya pikir sejenak, memang benar bahwa protes merupakan langkah awal mahasiswa dalam menyikapi suatu keadaan. Setelah itu baru solusi dicari bersama-sama bukan membebankan kepada yang protes saja karena ini adalah masalah kita bersama. Bukankah mahasiswa merupakan barisan pelopor atau kelompok yang mangawali setiap perubahan seperti yang diutarakan Bung Karno? Jika demikia adanya, saya rasa kita tidak perlu negative thinking ketika ada mahasiswa melakukan aksi sebagai upaya protesnya, akan tetapi kita harus memaknai apa yang mereka lakukan dengan positif, yaitu bertanya kembali apa yang mereka lakukan? Untuk apa mereka melakukan itu? Dan mengapa kita melakukan itu? Sehingga setelah kita bertanya demikian, maka kita tidak hanya menjadi pemerhati saja apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa tersebut, tetapi kita juga bisa ikut ambil bagian dalam aksi protes yang mereka lakukan dan mencari solusi bersama khusunya bagi mahasiswa-mahasiswa yang belum pernah menjalankan fungsi kontrolnya.
Semoga bermanfaat...
MERDEKA !!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar